Selasa, 13 November 2012

SINDROM NEFROTIC

NEFROTIC SINDROME 
Nefrotic syndrome merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan adanya edema. Kadang-kadang disertai hematuri, hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Secara umum etiologi dibagi menjadi nefrotic syndrome bawaan, sekunder, idiopatik dan sklerosis glomerulus. Penyakit ini biasanya timbul pada 2/100000 anak setiap tahun. Primer terjadi pada anak pra sekolah dan anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat penting karena pada pasien nefrotic syndrome sering timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Perawat diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Fokus asuhan keperawatan adalah mengidentifikasi masalah yang timbul, merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan yang telah diberikan apakah sudah diatasi atau belum atau perlu modifikasi. 1.1 Konsep Nefrotik Syndrome (NS)
1. Pengertian. NS adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).
2. Etiologi Sebab pasti belum jelas. Saat ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Secara umum etiologi dibagi menjadi :
 a. Nefrotic syndrome bawaan. Gejala khas adalah edema pada masa neonatus.
 b. Nefrotic syndrome sekunder Penyebabnya adalah malaria, lupus eritematous diseminata, GNA   dan GNK, bahan kimia dan amiloidosis.
c. Nefrotic syndrome idiopatik d. Sklerosis glomerulus.
 3. Patofisiologi. Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan proteinuria masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan onkotik plasma menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler ke intestisial. Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah merangsang sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan trigliserida.
 4. Gejala klinis. - Edema, sembab pada kelopak mata - Rentan terhadap infeksi sekunder - Hematuria, azotemeia, hipertensi ringan - Kadang-kadang sesak karena ascites - Produksi urine berkurang
5. Pemeriksaan Laboratorium - BJ urine meninggi - Hipoalbuminemia - Kadar urine normal - Anemia defisiensi besi - LED meninggi - Kalsium dalam darah sering merendah - Kadang-kdang glukosuria tanpa hiperglikemia.
6. Penatalaksanaan - Istirahat sampai edema sedikit - Protein tinggi 3 – 4 gram/kg BB/hari - Diuretikum - Kortikosteroid - Antibiotika - Punksi ascites - Digitalis bila ada gagal jantung.
1.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Nefrotic Syndrome
1. Pengkajian
a. Identitas.
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak mengalami komplikasi nefrotic syndrome.
b. Riwayat Kesehatan.
1) Keluhan utama. Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menurun
2) Riwayat penyakit dahulu. Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia.
3) Riwayat penyakit sekarang. Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
c. Riwayat kesehatan keluarga. Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
d. Riwayat kehamilan dan persalinan Tidak ada hubungan.
e. Riwayat kesehatan lingkungan. Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
f. Imunisasi. Tidak ada hubungan.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8 Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir. Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah. Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu. Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana. Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa. Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
h. Riwayat nutrisi. Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan dalam keluarga. Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB terukur dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk), < 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
i. Pengkajian persistem.
a) Sistem pernapasan. Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
b) Sistem kardiovaskuler. Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg, hipertensi ringan bisa dijumpai.
c) Sistem persarafan. Dalam batas normal.
d) Sistem perkemihan. Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e) Sistem pencernaan. Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii.
f) Sistem muskuloskeletal. Dalam batas normal.
g) Sistem integumen. Edema periorbital, ascites.
h) Sistem endokrin Dalam batas normal
i) Sistem reproduksi Dalam batas normal.
j. Persepsi orang tua Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan.
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus. Tujuan volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Intervensi Rasional
1. Catat intake dan output secara akurat
2. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine
3. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama
4. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam.
5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari.
Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator regimen terapi Estimasi penurunan edema tubuh Mencegah edema bertambah berat Pembatasan protein bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan mencegah bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.
b) Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan. Tujuan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil napsu makan baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan yang dihidangkan dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.
Intervensi Rasional
1. Catat intake dan output makanan secara akurat
2. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare.
3. Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang cukup Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan. Diare sebagai reaksi edema intestinal Mencegah status nutrisi menjadi lebih buruk
c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun. Tujuan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak ada, tanda vital dalam batas normal, ada perubahan perilaku keluarga dalam melakukan perawatan. Intervensi Rasional
1. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui pembatasan pengunjung.
2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
4. Lakukan tindakan invasif secara aseptik Meminimalkan masuknya organisme Mencegah terjadinya infeksi nosokomial Mencegah terjadinya infeksi nosokomial Membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi dapat mencegah sepsis.
d) Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi). Tujuan kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil kooperatif pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat, secara verbal mengatakan tidak takur. Intervensi Rasional
1. Validasi perasaan takut atau cemas
2. Pertahankan kontak dengan klien
3. Upayakan ada keluarga yang menunggu
4. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga. Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat menghadapinya. Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi. Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA 
 Berhman & Kliegman (1987), Essentials of Pediatrics, W. B Saunders, Philadelphia. Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa, EGC, Jakarta Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto, Jakarta Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica, Jakarta Tjokronegoro & Hendra Utama, (1993), Buku Ajar Nefrologi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. -------, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo-Lab/UPF IKA, Surabaya.
 BAB 2 TINJAUAN TEORI
1.3 Konsep Nefrotik Syndrome (NS)
1. Pengertian.
2. Etiologi
b. Nefrotic syndrome bawaan.
c. Nefrotic syndrome sekunder
d. Nefrotic syndrome idiopatik
e. Sklerosis glomerulus.
3. Patofisiologi.
1.4 Konsep Asuhan Keperawatan pada Nefrotic Syndrome
1. Pengkajian
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan.
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
b. Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
d. Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).

Jumat, 09 November 2012

THIPOID

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID A. PENGERTIAN Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002) Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003) B. PENYEBAB Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001) Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997) C. PATOFISIOLOGIS Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003) Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002) PATHWAYS Salmonella typhosa Saluran pencernaan Diserap oleh usus halus Bakteri memasuki aliran darah sistemik Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin usus halus Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam Pendarahan dan Nyeri perabaan perforasi Mual/tidak nafsu makan Perubahan nutrisi Resiko kurang volume cairan (Suriadi & Rita Y, 2001) D. GEJALA KLINIS Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat. Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001) Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997) Gambaran klinik tifus abdominalis Keluhan: - Nyeri kepala (frontal) 100% - Kurang enak di perut 50% - Nyeri tulang, persendian, dan otot 50% - Berak-berak 50% - Muntah 50% Gejala: - Demam 100% - Nyeri tekan perut 75% - Bronkitis 75% - Toksik 60% - Letargik 60% - Lidah tifus (“kotor”) 40% (Sjamsuhidayat,1998) E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. 2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus 3. Pemeriksaan Uji Widal Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu: • Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri • Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri • Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter. Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001) F. TERAPI 1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas 2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari. 3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim) 4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu 5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari 6. Golongan Fluorokuinolon • Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari • Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari • Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari • Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari • Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari 7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001) G. KOMPLIKASI Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000) Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992) H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID A. PENGKAJIAN 1. Riwayat keperawatan 2. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung 3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh C. PERENCANAAN 1. Mempertahankan suhu dalam batas normal • Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia • Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan • Berri minum yang cukup • Berikan kompres air biasa • Lakukan tepid sponge (seka) • Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat • Pemberian obat antipireksia • Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat 2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan • Menilai status nutrisi anak • Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat. • Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi • Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering • Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama • Mempertahankan kebersihan mulut anak • Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit • Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak 3. Mencegah kurangnya volume cairan • Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam • Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah • Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama • Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam • Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge • Memberikan antibiotik sesuai program (Suriadi & Rita Y, 2001) I. DISCHARGE PLANNING 1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi 2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan 3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman. 4. Penderita memerlukan istirahat 5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat (Samsuridjal D dan Heru S, 2003) 6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak 7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping 8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut 9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan. (Suriadi & Rita Y, 2001) DAFTAR PUSTAKA 1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000. 2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997. 3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992. 4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997. 5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001. 6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003. 7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998. 8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002. 9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001. 10. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001. 11. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/02/03brk